Minggu, 25 Mei 2014

Potensi Mineral Emas Di Kabupaten Malang

Pendahuluan 

Secara geologi Pulau jawa bagian selatan merupakan daerah yang terbentuk akibat adanya Gunung api purba. Selain menyuburkan tanah di bagian Selatan, Gunung Api Purba ini juga menghasilkan Endapan Mineral logam berupa Emas , Perak, dan Tembaga. Sepanjang Jalur selatan ini ditemukan berbagai tambang emas yang ekonomis antara lain : Cibaliung (Banten) , Cikotok (Sukabumi) , Pongkor (bogor) , Ciemas (Sukabumi) dan Tumpang Pitu (Banyuwangi).


Lokasi Tambang Emas Di Indonesia

Menurut Van Bemmelen daerah selatan Pulau Jawa ini disebut dengan Old Andesite Formation.Sebutan OAF ini karena sebagian besar selatan jawa terbentuk akbat endapan vulkanik purba yang menghasilkan batuan dengan komposisi andesitik Endapan andesit ini lah yang menyusun sebagian besar pegunungan selatan jawa. Kemenerusan pola ini juga melewati daerah selatan Malang. Sehingga potensi logam emas sangat mungkin juga terdapat di selatan malang.

Pola Kemenerusan Mineralisasi di Pulau Jawa (Elysium Resources)

 

 Geologi Malang Selatan


Secara geologi Pegunungan Malang Selatan tersusun atas endapan gunung api, batuan terobosan dan batuan sedimen. Dari Tua ke muda batuan penyusunnya antara lain: 

Formasi Mandalika 

Formasi Mandalika ini terdiri dari endapan lava andesit, basal, trakit, dasit, dan breksi andesit

Formasi Wuni 

Formasi Wuni ini terdiri dari breksi dan  lava berkomposisi andesit dan basal, breksi tuf, lahar, dan tuf pasiran.Formasi ini menindih tak selaras dengan formasi mandalika. 

Formasi Nampol 

Formasi Nampol ini terdiri dari endapan sedimen dan tak selaras dengan Formasi Mandalika Formasi ini terdiri dari endapan batupasir tufaan, batulempung, napal pasiran, batupasir gampingan, dan batulempung hitam.Formasi ini menjemari dengan Formasi Wonosari

Formasi Wonosari

Formasi Wonosari ini trdiri dari terumbu gamping,gamping kristalin, napal pasiran,batulempung kebiruan, dan batugamping pasiran.

Batuan Terobosan (Intrusi)

Batuan terobosan yang ditemui di Malang selatan antara lain :

Diorit Kuarsa, Batuan ini menerobos Formasi Mandalika dan ditemukan dalam keadaan terekahkan atau terdapat kekar yang tak teratur di Kampung wediawu dan kampung Purwodadi.

Granodiorit , Batuan ini menerobos Formasi Mandalika sehingga terkersikan dan terpropilitkan dan terdapat di Kali Sat, Kali Tundo, Anak kali Purwo dan tebing - tebing bagian selatan Kampung Pujiharjo, dan Kampung Purwodadi. Batuan Granodiorit ini dijumpai mineral pirit dan mineral bijih.

Dasit , Batuan ini diperkirakan menerobos Formasi Mandalika. terdapat di sebelah Utara Kampung Purwodadi dan umumnya telah lapuk.


Stratigrafi Malang Selatan (Lembar Turen)

 

Hasil Penelitian

Beberapa penelitian dilakukan di daerah malang untuk mencari potensi logam emas yang dilakukan Pusat Sumber Daya Geologi. Beberapa lokasi telah diteliti dan disurvei antara lain: 
Kalipare , Sumbermanjing wetan , Tirtoyudo dan Ampel Gading. Hasil contoh telah dianalisa dengan beberapa kandungan logam. Berikut ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan Pusat Sumber Daya Geologi Bandung (W. Widodo, 2002)
.
Di Kecamatan Kalipare , Kabupaten Malang ditemukan indikasi mineralisasi berupa batuan ubahan argilik. Hasil analisis kimia batuan yang di ambil di daerah ini menunjukkan kandungan 637 – 736 ppb Au, 544 – 844 ppb Hg dan 341 – 1.040 ppm As.

Di daerah Purwodadi dan Pujiharjo , Kecamatan Tirtoyudo, Kabupaten Malang ditemukan bongkah urat kuarsa di Kali Sat , Dusun Legoksono, Desa Purwodadi dengan kandungan Kalkopirit (CuFeS2), Pirit (FeS2) , dan kalkosit (Cu2S). Di daerah Kali Wedi Awu (Kampung Wediawu) juga ditemukan butiran emas hasil dari pendulangan. Sedangkan di hulu Kali Wader (Desa Purwodadi) ditemukan adanya singkapan urat - urat kecil (veinlet) dengan kandungan mineral kalkopirit (CuFeS2) dan Sphalerite (Zn,FeS) dengan ubahan batuan berupa silisifikasi, argilik, dan propilitik dengan batuan ubahan berupa andesit Formasi Mandalika. Hasil uji kandungan kimia sample batuan dari daerah ini menunjukkan kandungan 2.681 – 15.200 ppm Zn, 500 – 1.466 ppb Hg, 1.390 ppm As, 2.028 – 7.253 ppm Cu dan 897 – 980 ppb Au.

Selain itu dari ditemuakn juga endapan mineral galena (PbS2) di sekitar  Kali Sumberjambe , Kali Penguluran serta endapan mangan di sekitar Gunung Lincing dan Gunung Keri. 
 

Potensi penemuan endapan tipe porfiri 

Pada tahun 2013 perusahaan eksplorasi emas dari australia meneliti potensi endapan tipe porfiri di Malang Selatan tepatnya Kecamatan Sumbermanjing wetan. Setelah ditemukan adanya potensi mineral emas di Tumpang Pitu (Banyuwangi), Elang ( Sumbawa) , Selodong (Sumbawa) , dan Brambang (Sumbawa). Potensi endapan porfiri ini juga kemungkinan mengikuti pola kemenerusan old andesite formation di Pulau Jawa.

Potensi Deposit dengan tipe Porfiri di Selatan Jawa
Dari ke empat endapan emas tipe porfiri ini berhubungan dengan penunjaman lempeng Australian di selatan Pulau Jawa. Diperkirakan di Malang memiliki kemiripan sistem geologi / cebakan mineral yang telah ditemukan di Banyuwangi dan Pulau sumbawa. Pada tambang Batu hijau (Sumbawa) dilaporkan memiliki kandungan sebesar 13.1 Juta ounce Au dan 12,7 Milyar lb Cu, Elang (Sumbawa)  dilaporkan tereka dan terindikasi sebesar 25.3 Juta ounce Au dan ~16.3 Milyar lb Cu, Tujuh Bukit (Banyuwangi) dilaporkan tereka sebesar ~28.1 Juta ounce Au dan ~19.0 milyar lb  Cu.

Kandungan deposit porfiri di jalur mineralisasi selatan Jawa dan Sumbawa
(Elysium Resources)

Saat ini diperkirakan ada 4 propect utama yang ditemukan yaitu Tambak Rejo , Tampak Bedil, Binglis dan Purwoharjo. Hasil sampel unsur Geokimia menunjukkan adanya mineral emas , tembaga, arsen, dan antimony. unsur unsur ini menunjukkan path finder dengan tipe High sulfida sistem. sedangkan di permukaan ditemukan litocap alterasi yang luas dan mengambarkan adanya unsur emas, perak, dan tembaga. Kemungkinan sistem deposit porfiri Cu-Au ini berada di bawah dengan sistem High sulfida. 


Peta lokasi Iup, Prospek dan Peta Geologi (Lembar Turen)

Sebelumnya beberapa perusahan telah mengambil sample batuan. Indochina Goldfield Limited di tahun 1990 dan Asian Gold (Ivanhoe) di tahun 2006 menunjukan hasil yang signifikan. Hasil ini termasuk unsur dengan kadar 8.11 ppm Au, 0.1% Cu, 490 ppm As dan 36 ppm Sb. Low oxide gold berkadar 0.3 - 0.7 ppm ditemukan di daerah Binglis pada eksplorasi sebelumnya. Hasil ini berada di atas prospek area dan berkaitan dengan silika. urat - urat kuarsa ini bertekstur vuggy quartz dan pervasive quartz.


Mineralisasi dengan tekstur vuggy quartz dengan kandungan mineral sulfida 2 - 5 % (Elysium Resources)

Besi Oksida dengan mineral dominan Hematite, kandungan emas berkisar antara 0.3 - 0.7 ppm (Elysium Resources)

Survei Lapangan

Survei lapangan ini terutama berada di area luar IUP (Gunung Pondok Segoro). Hasil pengamatan akses menuju ke daerah Tirtoyudo terutama kampung legoksono sangat sulit dengan jalan berliku dan sempit. selain itu di daerah tersebut jarang dijumpai kawasan penduduk. Sebagian besar tempat berupa hutan yang sulit di akses sehingga hanya dilakukan pengamatan di tepian jalan raya. Beberapa singkapan terlihat adanya alterasi batuan propilitik.

Foto perbukitan di selatan Malang (foto pribadi)

Referensi

Sujanto dkk., 1992. Peta Geologi lembar Turen. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi : Bandung

W. Widodo dan S. Simanjutak , 2002 SUB DIT. MINERAL LOGAM  (HASIL KEGIATAN EKSPLORASI MINERAL LOGAM KERJASAMA TEKNIK ASING DAERAH PEGUNUNGAN SELATAN JAWA TIMUR (JICA MMAJ - Jepang) dan CIANJUR (KIGAM – Korea))

Breakaway Research, Elysium Resources Limited
Read More

Rabu, 21 Mei 2014

Peluang dan Tantangan Pengembangan Shale Gas di Indonesia

Indonesia negara yang pada tahun dekade 70 - 80 dikenal sebagai salah satu pengekspor minyak dunia (OPEC). Puncak dari produksi minyak telah terlewati, saat ini sebagian besar telah terjadi penurunan produksi yang cukup signifikan. Sayangnya saat ini indonesia berubah menjadi negara pengimpor bahan bakar minyak. Ketergantungan terhadap minyak ini mengakibatkan neraca perdagangan indonesia defisit. Diperkirakan hampir 500 milyar rupiah dikeluarkan setiap hari untuk mensubsidi BBM ini. Kebutuhan energi yang meningkat ini sayangnya tidak diimbangi dengan hasil produksi minyak.
Saat ini produksi minyak indonesia berkisar antara 800-850 ribu per hari yang tidak mencukupi kebutuhan negara indonesia yang mencapai 1,2-1,3 juta barel minyak per hari. Kurangnya kegiatan pencarian baru menjadi salah satu penyebab merosotnya hasil produksi indonesia. Salah satu potensi penambahan energi minya dan gas ini dapat berasal dari shale oil / gas. Sayangnya baru negara Amerika yang berhasil dalam mengembangkan energi ini. Selain masalah teknologi, dampak lingkungan, peraturan shale gas,  ini masih belum dibuat karena masih baru berkembang . Oleh karena itu potensi dari shale gas ini sangat dapat dimanfaatkan untuk memambah pasokan minyak indonesia. Berikut ulasan tentang peluang dan tantangan dalam pengembangan shale gas.

1. Potensi Shale Gas Indonesia sebesar 574.07 Tcf


Potensi shale gas di berbagai cekungan indonesia (Badan Geologi, 2011).

potensi shale gas ini sebagian besar di wilayah barat terutama cekungan di pulau sumatra , jawa , dan Kalimantan. Pada cekungan di pulau sumatra diperkiran sebesar 233.05 Tcf, pulau Jawa sebesar 47,64 Tcf, dan pulau Kalimantan sebesar 193,93 Tcf. Sebagian besar potensi berada di cekungan yang telah terbukti menghasilkan minyak dan gas konvensional seperti cekungan sumatra utara, cekungan sumatera tengah, cekungan sumatra selata, cekungan north west java, cekungan north east java, cekungan Kutai, cekungan Barito. cekungan Tarakan , dan Cekungan Bintuni.

2. Beberapa Potensi Cekungan Telah Dipetakan

Berbeda bila kita mengekplorasi cekungan baru untuk mencari oil dan gas secara konvensional potensi Shlae gas dapat ditemukan melalui beberapa cekungan yang telah di ekplorasi dan diekploitasi antara lain Cekungan Sumatra Tengah, Cekungan Sumatra Selatan, Cekungan West Java, East Java , Cekungan Kutai, Barito dan Tarakan. Badan Geolgi telah mengindentifikasi beberapa formasi/ batuan yanga dapata dijadikan sebagai sumber shale gas antara lain. 

Formasi Bampo, Pematang, Baong, Telisa dan Gumai di Pulau Sumatra. 

Kesebandingan Stratigrafi Cekungan Pulau Sumatra
 (Barber et al 2005 op.cit. Badan Geologi 2010)
Sedangkan di Cekungan Jawa Barat potensi terbesar di formasi Cibulakan Atas sedangkan di Cekungan Jawa Timur berupa Formasi Ngimbang, tuban dan Wonocolo.

Kesebandingan Stratigrafi Cekungan Pulau Jawa
 (Indonessian Basins Summaries 2006 op. cit Badan Geologi 2010)
Untuk cekungan yang berada di Pulau Kalimanta antara lain Cekungan Kutai dengan Pulau Balan dan Pamaluan, Cekungan Barito dengan Formasi Tanjung Atas dan Warukin bawah. Cekungan Tarakan dengan Formasi Sembakung dan Mangkubua. 

Kesebandingan Stratigrafi Cekungan Pulau Sumatra
 ( Badan Geologi 1993 op cit Indonessian Basins Summaries 2006 op cit Badan Geologi 2010)
Sedangkan Potensi Shale di Wilayah Timur antara lain di Cekungan Bintuni dengan Klasafet , Cekungan Salawati, Buton, Seram dan Misol.

3. Kebutuhan Energi Indonesia yang Meningkat

Dengan pertumbuhan ekonomi yang mecapai 5-6 % kebutuhan akan energi juga bertambah. Selain itu Bonus demografi dan meningkatnya daya beli masyarakat indonesia terutama kelas menengah harus ada diimbangi kecukupan persediaan energi. Sayangnya sebagian besar hasil ekploitasi energi kita masih ekspor prioritas sehingga dikuatirkan akan ada kelangkaan persediaan energi oleh karena itu dibutuhkan adanya investasi di bidang energi terutama Shale Gas. Komposisi konsumsi energi primer di Indonesia masih 54,4 persen dari minyak bumi (PEN 2005-2025), menyusul gas bumi, batu bara (14,1 persen), PLTA (3,4 persen), panas bumi (1,4 persen), dan energi terbarukan lainnya (0,2 persen)

Proyeksi sumber gas Indonesia (Wood Mackenzie)

Berdasarkan data dari Wood Mackenzie peranan dari konvensional energi akan berkurang digantikan oleh sumber energi dari unconventinal terutama shale gas, Tight gas, dan CBM. Oleh karena itu untuk mencapai itu dibutuhkan eksplorasi dan penelitian yang secara intensif dalam bidang shale gas ini.

Prediksi Kebutuhan Gas Indonesia (Hok So Wah, 2012)

Sebagian besar kebutuhan gas indonesia dibutuhkan untuk  pembangkit listrik, Pabrik pupuk, transportasi, dan perusahaan kimia. diharapkan shale gas dapat menjadi salah satu diversifikasi energi di inonesia selain minyak bumi. dengan kebutuhan yang tinggi dan menurunya produksi gas konvensional, diharapkan shale gas dapat menutupinya

4. Teknologi Pengembangan Shale Gas

Pengekstrasian potensi shale gas berbeda dengan mmintak dan gas konvensiaonal . di dalam pengembangan shlae gas dibutuhkan pengeboran horizontal mengikuti lapisan shale. Sedangkan gas konvensional berupa horizontal drilling. Karena itu dibutuhkan teknologi pengeboran yang dapat mengebor menyamping. 

Cebakan shale Gas (wikipedia)

Selain pengeboran di dalam pengembangan shale gas diperlukan proses fracking (pemecahan batuan) untuk melepaskan material gas yang terperangkap di batuan shale. Teknologi ini sayangnya masih belum dikuasai indonesia, sehingga diperlukan alih teknologi. 

Teknologi Fracking di Shale Gas (National Geografic , Maret 2013)
Teknologi fracking ini menggunakan tekanan air sehingga dapat memecah batuan shale. Setelah dibuka fracking gas akan mulai mengalir ke pipa dan keluar ke atas. 

5. Faktor Lingkungan

 Di negara amerika serikat pengembangan shale gaas mengakibatkan beberapa masal lingkung di air tanah, pencemaran udara, dan adanya pergerakan tanah. Salah satu paling penting yaitu masalah lingkungan air karena pada saat proses fracking/ pemecahan dibutuhkan berjuta galon air untuk di injeksikan ke dalam batuan. Selain itu kandungan bahan kimia diduga juga mencemari zona air bawah tanah sehingga tidak dapa dikonsumsi. Majalah National Geographic bulan Maret 2013 mengangkat isu faktor lingkungan ini sebagai topik utama.

Isu Shale Gas di National geographic maret , 2013
Selain Pencemaran air, gas hasil pemecahan batuan shale ditenggarai bocor ke permukaan sehingga mengakibatkan lepasnya gas metana ke atmosfer, dan mengakibatkan adanya pencemaran udara.
selain itu kegiatan fracking dan crack ditenggarai juga memicu adanya penurunan tanah dan gempa bumi. hal ini terjadi di amerika sebagai pionir pengembangan shale gas. Diperkirakan fracking pada batuan ini yang memicu adanya pergerakan tanah/ gempa. Beberapa daerah di amerika melaporkan adanya hubungan fracking dengan gempa yang terjadi antara lain Ohio , Amerika Serikat.
Gempa Bumi yang terjadi di Ohio , USA. Diperkirakan akibat kegiatan eksploitasi shale gas.

6. Hukum dan Perundangan yang Berlaku di Indonesia

Saat ini indonesia belum memiliki undang - undang yang mengatur secara spesifik tentang eksplorasi, eksploitasi dan bagi hasil pengembangan shlae gas. Oleh karena itu dibutuhkan undang-undang/peraturan tentang shale gas. Sehingga investor tertarik untuk menanamkan modal dalam penegembangan shale gas di Indonesia. saat ini pembagian dalam undang - undang migas konvesional mensyaratkan bagi hasil sebesar 30 untuk investor dan 70 untuk negara. Untuk itu perlu diberikan semancam intensif bagi investor yang menanamkan investasi di Indonesia. Berbagai macam intensif dapat diberikan antara lain berupa pemotongan pajak atau menaikkan bagi hasil menjadi 40 - 50 % bagi investor di Indonesia. Diharapkan legislasi / peraturan shale Gas dapat segera dibuat agar ada kepastian hukum bagi penegmbang Shale gas.

Konsep Hukum pengembangan shale gas Indonesia (Kemen ESDM)

Diharapkan pada tahun 2020 - 2025 shale gas ini dapat berperan sebagai salah satu sumber energi bagi negara Indonesia. Sehingga anacaman defisit energi di Tahun 2025 dapat dicegah. itulah berbagai peluang dan tantangan pengembangan shale gas di Indonesia.

7. Infrastruktur Pengembangan Gas

Untuk saat ini infrastruktur pipa gas sebagian besar berada di bagian barat indonesia. Sedangkan di bagian timur Indonesia belum terlalu berkembang sehingga di butuhkan investasi yang besar di bagian timur indonesia. Gambar dibawah merupakan peta jaringan pipa gas yang ada maupun rencana pengembangannya. Sebagian besar berada di bagian barat mulai dari Pulau Sumatra hingga Jawa.

Peta Jaringan gas Indonesia (Kemen ESDM)


Saat ini Jaringan Gas sebagian besar untuk mensuplay pembangkit listrik , pupuk, dan petrokimia yang ada di pulau di Jawa dan jaringan gas untuk ekspor terutama ke singapura. Nantinya diharapkann Jaringan gas dapat berkembang  terutama menghubunkan Pulau Kalimatan yang memiliki potensi besar dengan permintaan di pulau jawa.
Referensi

mass potential = shale gas, The oil and gas year indonesia 2012

Hok So Wah, Indonesia's opportunity in the development of Unconvetional gas resources , world gas Conference , Kuala Lumpur 2012.

R Sukyar dan R . Fakhruddin 2013, Unconventional Oil and Gas Potential in Indonesia with Special Attention to Shale Gas andCoal-bed Methane ; Badan Geologi

National Geographic, Maret 2013

A. Edy Harmantoro,Opportunities, Challenges and Strategies in Monetizing Indonesia's Shale Gas : Kementrian ESDM

Rovicky Dwi Putrohari , Shale Gas for Indonesia : IAGI

Read More

Minggu, 11 Mei 2014

Tektonik Cekungan Kutai

 Tektonik

Cekungan Kutai di sebelah utara berbatasan dengan Bengalon dan Zona Sesar Sangkulirang, di selatan berbatasan dengan Zona Sesar Adang, di barat dengan sedimen-sedimen Paleogen dan metasedimen Kapur yang terdeformasi kuat dan terangkat dan membentuk daerah Kalimantan Tengah, sedangkan di bagian timur terbuka dan terhubung denganlaut dalam dari Cekungan Makassar bagian Utara.


Elemen Struktur bagian timur Cekungan Kutai. (Beicip, 1992, op.cit. Allen dan Chambers, 1998. )
Cekungan Kutai dapat dibagi menjadi fase pengendapan transgresif Paleogen  dan pengendapan regresif  Neogen. Fase Paleogen dimulai dengan ekstensi pada tektonik dan pengisian cekungan selama Eosen dan memuncak pada fase longsoran tarikan post-rift dengan diendapkannya serpih laut dangkal dan karbonat selama Oligosen akhir. Fase Neogen dimulai sejak Miosen Bawah sampai sekarang, menghasilkan progradasi delta dari Cekungan Kutai sampai lapisan Paleogen. Pada Miosen Tengah dan lapisan yang lebih muda di bagian pantai dan sekitarnya berupa sedimen klastik regresif yang mengalami progradasi ke bagian timur dari Delta Mahakam secara progresif lebih muda menjauhi timur. Sedimen-sedimen yang mengisi Cekungan Kutai banyak terdeformasi oleh lipatan-lipatan yang subparalel dengan pantai.  Intensitas perlipatan semakin berkurang ke arah timur, sedangkan lipatan di daerah dataran pantai dan lepas pantai terjal, antiklin yang sempit dipisahkan oleh sinklin yang datar. Kemiringan cenderung meningkat sesuai umur lapisan pada antiklin. Lipatan-lipatan terbentuk bersamaan dengan sedimentasi berumur Neogen. Banyak lipatan-lipatan yang asimetris terpotong oleh sesar-sesar naik yang kecil, secara umum berarah timur, tetapi secara lokal berarah barat.



Cekungan Kutai dari Oligosen akhir – sekarang. (Beicip, 1992, op.cit. Allen dan Chambers, 1998.)

Pada Kala Oligosen (Tersier awal) Cekungan Kutai mulai turun dan  terakumulasi sediment-sediment laut dangkal khususnya mudstone, batupasir sedang dari Formasi serpih Bogan dan Formasi Pamaluan. Pada awal Miosen, pengangkatan benua ( Dataran Tinggi Kucing) ke arah barat dari tunjaman menghasilkan banyak sedimen yang mengisi Cekungan Kutai pada formasi delta-delta sungai, salah satunya di kawasan Sangatta. Ciri khas sedimen-sedimen delta terakumulasi pada Formasi Pulau Balang, khususnya sedimen dataran delta bagian bawah dan sedimen batas laut, diikuti lapisan-lapisan dari Formasi Balikpapan yang terdiri atas mudstone, bataulanau, dan batupasir dari lingkungan pengendapan sungai yang banyak didominasi substansi gambut delta plain  bagian atas yang kemudian membentuk lapisan-lapisan batubara pada endapan di bagian barat kawasan Pinang. Subsidenceyang berlangsung terus pada waktu itu kemungkinan tidak seragam dan meyebabkan terbentuknya sesar-sesar pada sedimen-sedimen. Pengendapan pada Formasi Balikpapan dilanjutkan dengan akumulasi lapisan-lapisan Kampung Baru pada kala Pliosen. Selama Kala Pliosen, serpih dari serpih Bogan dan Formasi Pamaluan yang sekarang terendapkan sampai kedalaman 2000 meter, menjadi  kelebihan tekanan dan tidak stabil, menghasilkan pergerakan diapir dari serpih ini melewati sedimen-sedimen diatasnya menghasilkan struktur antiklin-antiklin rapat yang dipisahkan oleh sinklin lebih datar melewati Cekugan Kutai dan pada kawasan Pinang terbentuk struktur Kerucut Pinang dan Sinklin Lembak.

Referensi :

Allen, G.P., dan Chambers,J.L.C.,1998, Sedimentation in the Modern and Miocen Mahakam Delta. IPA, hal. 156-165
Read More

Sabtu, 10 Mei 2014

Geologi Cekungan Barito

Tektonik Cekungan Barito


Secara tektonik Cekungan Barito terletak pada batas bagian tenggara dari Schwanner Shield, Kalimantan Selatan. Cekungan ini dibatasi oleh Tinggian Meratus pada bagian Timur dan pada bagian Utara terpisah dengan Cekungan Kutai oleh pelenturan berupa Sesar Adang, ke Selatan masih membuka ke Laut Jawa, dan ke Barat dibatasi oleh Paparan Sunda.


Cekungan Barito merupakan cekungan asimetrik, memiliki cekungan depan (foredeep) pada bagian paling Timur dan berupa platform pada bagian Barat. Cekungan Barito mulai terbentuk pada Kapur Akhir, setelah tumbukan (collision) antara microcontinent Paternoster dan Baratdaya Kalimantan (Metcalfe, 1996; Satyana, 1996).

Pada Tersier Awal terjadi deformasi ekstensional sebagai dampak dari tektonik konvergen, dan menghasilkan pola rifting Baratlaut – Tenggara. Rifting ini kemudian menjadi tempat pengendapan sedimen lacustrine dan kipas aluvial (alluvial fan) dari Formasi Tanjung bagian bawah yang berasal dari wilayah horst dan mengisi bagian graben, kemudian diikuti oleh pengendapan Formasi Tanjung bagian atas dalam hubungan transgresi.

Pada Awal Oligosen terjadi proses pengangkatan yang diikuti oleh pengendapan Formasi Berai bagian Bawah yang menutupi Formasi Tanjung bagian atas secara selaras dalam hubungan regresi. Pada Miosen Awal dikuti oleh pengendapan satuan batugamping masif Formasi Berai.

Selama Miosen tengah terjadi proses pengangkatan kompleks Meratus yang mengakibatkan terjadinya siklus regresi bersamaan dengan diendapkannya Formasi Warukin bagian bawah, dan pada beberapa tempat menunjukkan adanya gejala ketidakselarasan lokal (hiatus) antara Formasi Warukin bagian atas dan Formasi Warukin bagian bawah.

Pengangkatan ini berlanjut hingga Akhir Miosen Tengah yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya ketidakselarasan regional antara Formasi Warukin atas dengan Formasi Dahor yang berumur Miosen Atas – pliosen.

Tektonik terakhir terjadi pada kala Plio-Pliestosen, seluruh wilayah terangkat, terlipat, dan terpatahkan. Sumbu struktur sejajar dengan Tinggian Meratus. Sesar-sesar naik terbentuk dengan kemiringan ke arah Timur, mematahkan batuan-batuan tersier, terutama daerah-daerah Tinggian Meratus.


Statigrafi Cekungan Barito

Stratigrafi Cekungan Barito, Cekungan Kutai, dan Cekungan Tarakan.
 (Courtney, et al., 1991, op cit., Bachtiar, 2006).

Urutan stratigrafi Cekungan Barito dari tua ke muda adalah :

Formasi Tanjung (Eosen – Oligosen Awal)


Formasi ini disusun oleh batupasir, konglomerat, batulempung, batubara, dan basalt. Formasi ini diendapkan pada lingkungan litoral neritik.

Formasi Berai (Oligosen Akhir – Miosen Awal)     

Formasi Berai disusun oleh batugamping berselingan dengan batulempung / serpih di bagian bawah, di bagian tengah terdiri dari batugamping masif dan pada bagian atas kembali berulang menjadi perselingan batugamping, serpih, dan batupasir. Formasi ini diendapkan dalam lingkungan lagoon-neritik tengah dan menutupi secara selaras Formasi Tanjung yang terletak di bagian bawahnya. Kedua Formasi Berai, dan Tanjung memiliki ketebalan 1100 m pada dekat Tanjung.

Formasi Warukin (Miosen Bawah – Miosen Tengah)


Formasi Warukin diendapkan di atas Formasi Berai dan ditutupi secara tidak selaras oleh Formasi Dahor. Sebagian besar sudah tersingkap, terutama sepanjang bagian barat Tinggian Meratus, malahan di daerah Tanjung dan Kambitin telah tererosi. Hanya di sebelah selatan Tanjung yang masih dibawah permukaan.

Formasi ini terbagi atas dua anggota, yaitu Warukin bagian bawah (anggota klastik), dan Warukin bagian atas (anggota batubara). Kedua anggota tersebut dibedakan berdasarkan susunan litologinya.

Warukin bagian bawah (anggota klastik) berupa perselingan antara napal atau lempung gampingan dengan sisipan tipis batupasir, dan batugamping tipis di bagian bawah, sedangkan dibagian atas merupakan selang-seling batupasir, lempung, dan batubara. Batubaranya mempunyai ketebalan tidak lebih dari 5 m., sedangkan batupasir bias mencapai ketebalan lebih dari 30 m.

Warukin bagian atas (anggota batubara) dengan ketebalan maksimum ± 500 meter, berupa perselingan batupasir, dan batulempung dengan sisipan batubara. Tebal lapisan batubara mencapai lebih dari 40 m, sedangkan batupasir tidak begitu tebal, biasanya mengandung air tawar. Formasi Warukin diendapkan pada lingkungan neritik dalam (innerneritik) – deltaik dan menunjukkan fasa regresi.

Formasi Dahor (Miosen Atas – Pliosen)

         Formasi ini terdiri atas perselingan antara batupasir, batubara, konglomerat, dan serpih yang diendapkan dalam lingkungan litoral – supra litoral.


Referensi :
Satyana, A.H., 2000, Kalimantan, An Outline of The Geology of Indonesia, Indonesian Association of Geologists, p.69-89.
Bachtiar, A., 2006, Slide Kuliah Geologi Indonesia, Prodi Teknik Geologi, FITB-ITB
Read More

Jumat, 09 Mei 2014

Sejarah Tektonik Pulau Kalimantan


Basement pre-Eosen

Bagian baratdaya Kalimantan tersusun atas kerak yang stabil (Kapur Awal) sebagai bagian dari Lempeng Asia Tenggara meliputi baratdaya Kalimantan, Laut Jawa bagian barat, Sumatra, dan semenanjung Malaysia. Wilayah ini dikenal sebagai Sundaland. Ofiolit dan sediment dari busur kepulauan dan fasies laut dalam ditemukan di Pegunungan Meratus, yang diperkirakan berasal dari subduksi Mesozoikum.
Di wilayah antara Sarawak dan Kalimantan terdapat sediment laut dalam berumur Kapur-Oligosen (Kelompok Rajang), ofiolit di (Lupar line, Gambar 3; Tatau-Mersing line, Gambar 4 dan 5; Boyan mélange antara Cekungan Ketungai dan Melawi), dan unit lainnya yang menunjukkan adanya kompleks subduksi. Peter dan Supriatna (1989) menyatakan bahwa terdapat intrusive besar bersifat granitik berumur Trias diantara Cekungan Mandai dan Cekungan Kutai atas, memiliki kontak tektonik dengan formasi berumur Jura-Kapur.

Gambar 1: NW – SE Cross section Schematic reconstruction (A) Late Cretaceous, and
 (B) Eocene (Pertamina BPPKA, 1997, op cit., Bachtiar, 2006).

Permulaan Cekungan Eosen

Banyak penulis memperkirakan bahwa keberadaan zona subduksi ke arah tenggara di bawah baratlaut Kalimantan (Gambar 1 dan 2) pada periode Kapur dan Tersier awal dapat menjelaskan kehadiran ofiolit, mélanges, broken formations, dan struktur tektonik Kelompok Rajang di Serawak (Gambar 3), Formasi Crocker di bagian barat Sabah, dan Kelompok Embaluh. Batas sebelah timur Sundaland selama Eosen yaitu wilayah Sulawesi, yang merupakan batas konvergensi pada Tersier dan kebanyakan sistem akresi terbentuk sejak Eosen.  
Gambar 2: Paleocene – Middle Eocene SE Asia tectonic reconstructionSCS = South China Sea, LS = Lupar Subduction, MS = Meratus Subduction, WSUL = West Sulawesi, I-AU = India Australia Plate, PA = Pacific plate  (Pertamina BPKKA, 1997, op cit., Bachtiar, 2006)



Gambar 3: Cross section reconstruction of North Kalimantan that show Lupar subduction in Eocene
 (Hutchison, 1989, op cit., Bachtiar 2006))
Mulainya collision antara India dan Asia pada Eosen tengah (50 Ma) dan mempengaruhi perkembangan dan penyesuaian lempeng Asia. Adanya subsidence pada Eosen dan sedimentasi di Kalimantan dan wilayah sekitarnya merupakan fenomena regional dan kemungkinan dihasilkan dari penyesuaian lempeng, sebagai akibat pembukaan bagian back-arc Laut Celebes.

Tektonisme Oligosen

Tektonisme pada pertengahan Oligosen di sebagian Asia tenggara, termasuk Kalimantan dan bagian utara lempeng benua Australia, diperkirakan sebagai readjusementdari lempeng pada Oligosen. Di pulau New Guinea, pertengahan Oligosen ditandai oleh ketidakselarasan (Piagram et al., 1990 op cit., Van de Weerd dan Armin, 1992) yang dihubungkan dengan collision bagian utara lempeng Australia (New Guinea) dengan sejumlah komplek busur. New Guinea di ubah dari batas konvergen pasif menjadi oblique. Sistem sesar strike-slip berarah barat-timur yang menyebabkan perpindahan fragmen benua Australia (Banggai Sula) ke bagian timur Indonesia berpegaruh pada kondisi lempeng pada pertengahan Oligosen.

Gambar 4: Late Oligocene – Early Miocene SE Asia tectonic reconstructionSCS = South China Sea, LS = Lupar Subduction, MS = Mersing Subduction, WSUL = West Sulawesi, E SUL = East Sulawesi I-AU = India Australia plate, PA = Pacific plate, INC = Indocina, RRF = Red River Fault, IND = India; AU = Australia, NG = New Guinea, NP = North Palawan, RB = Reed Bank, H = Hainan, SU = Sumba (Pertamina BPKKA, 1997, op cit., Bachtiar 2006)
 Ketidakselarasan pada pertengahan Oligosen hadir di Laut China selatan (SCS) dan wilayah sekitarnya (Adams dan Haak, 1961; Holloway, 1982; Hinz dan Schluter, 1985; Ru dan Pigott, 1986; Letouzey dan Sage, 1988; op cit.,  Van de Weerd dan Armin, 1992). Ketidak selarasan ini dihubungkan dengan pemekaran lantai samudera di SCS. Subduksi pada baratlaut Kalimantan terhenti secara progresif dari baratdaya sampai timurlaut. Di bagian baratdaya, berhenti pada pertengahan Oligosen; di bagian timurlaut, berhenti pada akhir Miosen awal (Holloway, 1982, op cit., Van de Weerd dan Armin, 1992). 

Gambar 5: NW – SE cross section schematic reconstruction (A) Oligocene – Middle Miocene, and  (B) Middle Miocene - Recent (Pertamina BPPKA, 1997, op cit., Bachtiar, 2006).


Gambar 6: Middle Miocene – Recent SE Asia tectonic reconstruction
(Pertamina BPKKA, 1997, op cit., Bachtiar, 2006)

Tektonisme Miosen

Di wilayah sekitar SCS pada Miosen awal-tengah terjadi perubahan yang Sangat penting. Pemekaran lantai samudera di SCS berhenti, sebagai subduksi di Sabah dan Palawan; mulai terjadinya pembukaan Laut Sulu (silver et al., 1989; Nichols, 1990; op cit., Van de Weerd dan Armin, 1992); dan obduksi ofiolit di Sabah (Clennell, 1990, op cit., Van de Weerd dan Armin, 1992). Membukanya cekungan marginal Laut Andaman terjadi pada sebagian awal Miosen tengah (Harland et al., 1989. op cit., Van de Weerd dan Armin, 1992).

Gambar 7: Elemen Tektonik Pulau Kalimantan pada Miosen tengah. Nuay, 1985, op cit., Oh, 1987.)


DAFTAR PUSTAKA

Allen, G.P., dan Chambers,J.L.C.,1998, Sedimentation in the Modern and Miocen Mahakam Delta. IPA, hal. 156-165.

Bachtiar, A., 2006, Slide Kuliah Geologi Indonesia, Prodi Teknik Geologi, FIKTM-ITB.

Oh,H.L., The Kutai Basin a Unique Structural History. Proceeding IPA 20th October 1987Vol I p. 311-316.

Satyana, A.H., 2000, Kalimantan, An Outline of The Geology of Indonesia, Indonesian Association of Geologists, p.69-89.

Van de Weerd, A.A., dan Armin, Richard A., 1992, Origin and Evolution of the Tertiary Hydrocarbon-Bearing Basins in Kalimantan (Borneo), Indonesia, The American Association of Petroleum Geologists Bulletin v. 76, No. 11, p. 1778-1803.



Read More

Senin, 05 Mei 2014

Geologi Cekungan Buli Bay (Halmahera - Maluku Utara)


Geologi Regional

Nama Cekungan : Paleogene Oceanic Fracture - Neogene Back Arc Basin.

Klasifikasi Cekungan : Cekungan sedimen dengan status belum ada penemuan.

Cekungan Buli Bay merupakan salah satu cekungan dikawasan timur Indonesia, terletak di sekitar Pulau Halmahera, pada koordinat 128.5°-130.4° BT dan 0°-1° LU 



Peta lokasi Cekungan Buli Bay.

Geometri Cekungan Buli Bay memanjang dengan arah barat - timur. Sebelah utara dan timur cekungannya dibatasi oleh Samudera Pasifik, sebelah barat dibatasi oleh tinggian Pulau Halmahera dan yang menjadi batas sebelah selatan dari cekungan ini adalah Laut Halmahera. Peta anomaly gaya berat menunjukan kontras densitas yang dapat dijadikan batas cekungan.


Peta anomaly gaya berat Cekungan Buli Bay.
Luas total Cekungan Buli Bay kurang-lebih 15.360 km2, keseluruhan cekungan ini menempati sebagian wilayah perairan di sebelah timur Pulau Halmahera. Batuan dasar cekungan ini berumur Tersier. Memiliki ketebalan sedimen antara 1 – 2 km dengan kedalaman cekungan antara 0 – 2000 m.

Tektonik dan Struktur Geologi

Halmahera terletak pada komplek tektonik dimana terdapat tiga lempeng utama yang saling berinteraksi. Lempeng-lempeng tersebut terdiri dari Lempeng Laut Filipina, Lempeng Australia, dan Lempeng Eurasia. Dibagian timurlaut, Lempeng Laut Filipina bergerak kearah barat. Kemungkinan pusat pemekaran berada di daerah Palung Ayu yang disubdusikan dibawah Halmahera bagian utara, sepanjang jalur pemekaran Palung Phillippine di bagian tenggara.

Lempeng Australia yang berada di sebelah selatan bergerak kearah timurlaut. Pergerakan ini mengarah ke Sesar Sorong yang merupakan batas sebelah selatan wilayah Halmahera. Sesar Sorong sendiri merupakan sesar geser mengarah mengiri.

Selama terjadinya proses tumbukan antara Lempeng Australia bagian utara dengan Lempeng Laut Filipina, fragmen-fragmen dari lempeng benua terbagi-bagi dan bergerak sepanjang Sesar Sorong di bagian barat. Batugamping autochtonous Miosen dari Lempeng Australia, kemungkinan diendapkan di lingkungan pemekaran cekungan, yang terbawa dan terbentuk pada pembentukan Cekungan Weda dan Cekungan Tomuri di bagian barat. Posisi tektonik dari cekungan selama proses tersebut adalah pada busur belakang dengan lokasi busur magmatik berada pada lengan bagian barat.

Lebih lanjut deformasi sesar mendatar berhubungan dengan zona active Sesar Sorong dan ini berhubungan dengan splay yang merupakan suatu sesar berpasangan. Kondisi tersebut mungkin menyebabkan pembukaan dari busur belakang seperti sebuah pull apart basin. Sejarah stratigrafi Halmahera merupakan hasil dari patahan dan pengangkatan sedimen-sedimen hasil fluktuasi genang laut. Sedimen-sedimen tersebut berpotensi sebagai batuan induk, reservoir, dan batuan penutup, yang penting dalam pembentukan dan penjebakan hidrokarbon.
Tektonik Halmahera (dimodifikasi dari Hamilton, 1979).

Stratigrafi Regional

Stratigrafi Cekungan Halmahera Timur diawali dengan pengendapan batuan dasar yang berupa batuan ophiolit, yang lebih dikenal dengan East Halmahera Ophiolite Batuan dasar ini diendapkan pada umur Jurasik Tengah. Pada umur Kapur Atas sampai Paleosen di cekungan ini diendapkan batugamping Formasi Gao. Formasi ini didominasi endapan batugamping. Batuan lain yang dijumpai pada endapan formasi ini adalah batupasir. Lingkungan pengendapan formasi ini adalah lingkungan batial.

Breksi Formasi Dodoga diendapkan pada umur Paleosen. Formasi ini didominasi oleh endapan breksi. Diperkirakan endapan ini diendapakan pada lingkunagan bathyal sampai deep marine (laut dalam). Diatas breksi Formasi Dodoga diendapkan endapan batugamping Formasi Gelendongan. Formasi ini diendapakan pada umur Eosen. Batuannya didominasi oleh endapan batugamping, dengan lingkungan pengendapan nya adalah deep marin (laut dalam).

Formasi Paniti diendapkan pada umur Eosen diatas endapan batugamping Formasi Gelendongan secara tidak selaras. Formasi Paniti memiliki litologi yang terdiri dari batupasir, batulempung, dan sedikit batugamping. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal.

Kemudian pada umur Oligosene diendapkan secara tidak selaras Formasi Jawali dengan endapannya berupa konglomerat. Konglomerat Formasi Jawali diendapkan pada lingkungan transitional. Formasi Subaim diendapkan diatas Formasi Jawali pada umur Miosen. Formasi ini terdiri dari endapan batugamping massive dan perlapisan batugamping koral. Lingkungan paparan laut dangkal menjadi tempat penngendapan formasi ini. Pada umur Pliosen pada sedimentasi cekungan ini terjadi perubahan fasies dari Formasi Subaim menjadi endapan Formasi Soolat. Formasi ini terdiri dari endapan batulempung gampingan, serpih dan sedikit batugamping. Pada umur Kuarter di cekungan ini diendapkan endapan Quarternary Reff. Formasi ini terdiri dari endapan batugamping dengan lingkungan pengendapan nya adalah laut dangkal.

Stratigrafi Cekungan Halmahera Timur (dimodifikasi dari Pertamina-BEICIP, 1992).

Sistem Petroleum

Sejarah tektonik dan sedimentasi cekungan sangat penting diketahui untuk menentukan hidrokarbon potensial di suatu cekungan. Evolusi cekungan merefleksikan pergerakan dan interaksi dari lempeng. Analisis cekungan merupakan suatu proses dengan tujuan mengetahui karakteristik dari suatu cekungan sebagai tempat endapan sedimen yang mungkin terdapat unsur-unsur penting untuk terakumulasinya hidrokarbon. Unsur-unsur penting tersebut seperti keberadaan batuan induk, reservoir, batuan penutup, pola struktur untuk migrasi hidrokarbonnya, dan jebakan.

Batuan Induk

Batuan induk yang potensial di daerah Kepala Burung diharapkan terbentuk di cekungan Halmahera Selatan. Dua interval batuan induk yang menghasilkan minyak di daerah Kepala Burung Papua berupa serpih pada Formasi Ainim yang memiliki kecenderungan untuk menghasilkan gas dan sedikit minyak. Batuan berumur Jura Awal-Tengah dari Formasi Yefbie yang ekivalen dengan Formasi Kopai dari Kelompok Lower Kembelangan yang mengindikasikan kecenderungan yang lebih banyak menghasilkan minyak dibanding dengan batuan induk Permian; serpihnya memiliki TOC 6,2 % berasal dari material sapropel yang dapat menghasilkan minyak dan gas. Batuan induk Tersier yang ada pada cekungan-cekungan di daerah Kepala Burung melibatkan Grup Upper Kembelangan (Paleosen-Eosen) yang mengandung TOC sekitar 0,6-1,2% yang berasal dari material sapropel dan cenderung menghasilkan minyak.

Reservoir

Karbonat berumur Miosen (Formasi Subaim) yang ada pada Teluk Weda memiliki ketebalan hingga 700 kaki berdasarkan refleksi dari karakter seismik. Batuan karbonat ini diharapkan diendapkan pada lingkungan dangkalan dengan energi tinggi dan dapat berupa gundukan rendah karena batuan dengan tipikal sama yang ditemukan di Cekungan Salawati memiliki properti reservoir yang baik. Potensi reservoir yang lain dimiliki oleh batupasir yang berada di bagian paling atas Grup Weda (Formasi Soolat) yang pada umumnya tipis dan mengandung fragmen litik.
 

Perangkap 


Jebakan hidrokarbon di Cekungan Halmahera Selatan adalah jebakan stratigrafi, struktur dan kombinasi keduanya yang terbentuk pada fase syn-rift dan tereaktivasi pada fase tektonik tumbukan.

Batuan Penyekat / Seal 

Serpih tebal intraformasional yang ada di cekungan Bintuni diharapkan hadir juga di Cekungan Halmahera untuk menutupi reservoir Pra-Tersier. Penyekat yang diharapkan hadir untuk batuan karbonat terumbu berumur Miosen adalah serpih karbonatan dan batulempung karbonat laut dalam. Bagian Top dari batuan penyekat untuk batuan karbonat yang ada pada paparan akan disediakan oleh unit yang sama untuk unit batugamping terumbu yang lebih tua sementara untuk batugamping yang lebih muda ditutupi oleh sedimen klastik berukuran halus pada Grup Weda. Unit-unit ini ekivalen dengan Formasi Klasaman dan Klasafet yang menutupi reservoir Formasi Kais di Cekungan Salawati. Batuan penutup lain yang ada pada cekungan ini adalah batugamping terumbu yang memiliki kisaran umur Pliosen. Berdasarkan identifikasi seismik batuan penutup dari batugamping terumbu memiliki resiko kebocoran karena hanya ditutupi oleh sedimentasi tipis Plistosen.   

Pembentukan Minyak, Migrasi, dan Akumulasi

Properti batuan tiap horizon di Cekungan Buli Bay diambil dari Cekungan Salawati karena kurangnya data. Untuk model sistem petroleumproperti batuannya diambil dari sumur TBF 1-X di Cekungan Salawati. Minyak di berada dalam kondisi mlai matang (ekivalen dengan RO 0,5 - 0,7%) pada 23,34 jtl (Awal Miosen) dan mencapai top Formasi Roabiba pada 21,02 jtl.. Waktu pembentukan menengah (RO 0,7-1,0%) tercapai pada 19,54 jtl (Awal Miosen) belum mencapai Formasi Roabiba hingga saat ini.


DAFTAR PUSTAKA 

Darman, Herman dan Sidi, Hasan, F., 2000, An Outline of The Geology of Indonesia, Ikatan Ahli Geology Indonesia, Jakarta, hal 131-140
Hall, Robert, 1999, History of Collision in the Halmahera Region, Indonesia,  Proceeding Indonesia Petroleum Association, 27th Annual Convention Proceedings
Hamilton, W., 1979. Tectonics of the Indonesian Region: United States Geological Survey Professional Paper 1078.
Kartaadipura, Witoelar L., Ahmad, Zainal., dan Reymond, Andre., 1982, Deep-Sea Basin in Indonesia, Proceeding Indonesia Petroleum Association, 11th Annual Convention Proceedings, hal 53 - 81
LEMIGAS, 2006, Kuantifikasi Sumberdaya Hidrokarbon, Volume II, Bab II Geologi Regional Indonesia Timur, LEMIGAS, Jakarta, hal 19-20
Letouzey, Jean, Guignard, Jean, Clarens de Philippe, 1983, Structure of The North Banda-Molucca Area From Multichannel Seismic Reflection Data, Proceeding Indonesia Petroleum Association, 12th Annual Convention Proceedings, hal. 143 - 156
PERTAMINA dan BEICIP FRANLAB, 1992, Global Geodynamics, Basin Classification and Exploration Play-types in Indonesia, Volume II, Halmahera Basin, PERTAMINA, Jakarta, hal 229 – 230







Read More

Jumat, 02 Mei 2014

Geologi Cekungan Kau Bay (Halmahera - Maluku Utara)

Geologi Regional Cekungan Kau Bay (Halmahera , Malaku Utara)


Nama cekungan polyhistory               : Paleogene Oceanic Fracture - Neogene  Back Arc Basin

Klasifikasi cekungan                           : Cekungan Sedimen Dengan Status Belum Ada Penemuan Hidrokarbon


Cekungan Kau Bay merupakan salah satu cekungan dikawasan timur Indonesia. Lokasinya berada disebelah utara Pulau Halmahera, pada koordinat 128° - 129° BT dan 2.5° - 1° LU.


Lokasi Cekungan Kau Bay
Cekungan ini menempati wilayah perairan dan sebagian kecil menempati wilayah daratan di utara Pulau Halmahera. Luas total cekungannya sekitar 7.621 km2, dengan luas daratan 975 km2 dan luas lautan 6.646 km2. Batuan dasar cekungan berumur Jurasik, ketebalan sedimennya 1 – 3 km dan kedalaman cekungan 0 – 3.000 m
Peta Anomali Gaya Berat Cekungan Kau Bay
Geometri cekungan berbentuk ireguler memanjang dengan arah timurlaut - baratdaya. Sebelah utara cekungan dibatasi oleh tinggian Morotai, disebelah timur dibatasi oleh Samudera Pasifik, sedangkan sebelah barat dan selatan cekungan dibatasi oleh tinggian Pulau Halmahera. Peta anomali gaya berat menunjukan kontras densitas yang dapat dijadikan batas cekungan 

Tektonik Regional


Pulau Halmahera terletak pada komplek tektonik dimana terdapat tiga lempeng utama yang saling berinteraksi. Lempeng-lempeng tersebut terdiri dari Lempeng Laut Filipina, Lempeng Australia, dan Lempeng Eurasia . Dibagian timur laut, Lempeng Laut Filipina bergerak kearah barat. Kemungkinan pusat pemekaran berada di daerah Palung Ayu yang disubdusikan dibawah Halmahera bagian utara, sepanjang jalur pemekaran Palung Filipina di bagian tenggara.

Peta Tektonik Pulau Halmahera

Lempeng Australia yang berada di sebelah selatan bergerak kearah timurlaut. Pergerakan ini mengarah ke Sesar Sorong yang merupakan batas sebelah selatan wilayah Halmahera. Sesar Sorong sendiri merupakan sesar geser mengarah mengiri.
Selama terjadinya proses tumbukan antara Lempeng Australia bagian utara dengan Lempeng Laut Filipina, fragmen-fragmen dari lempeng benua terbagi-bagi dan bergerak sepanjang Sesar Sorong di bagian barat. Batugamping autochtonous Miosen dari Lempeng Australia, kemungkinan diendapkan di lingkungan pemekaran cekungan, yang terbawa dan terbentuk pada pembentukan Cekungan Weda dan Cekungan Tomori di bagian barat. Posisi tektonik dari cekungan selama proses tersebut adalah pada busur belakang dengan lokasi busur magmatik berada pada lengan bagian barat.

Lebih lanjut deformasi sesar mendatar berhubungan dengan zona aktif Sesar Sorong dan ini berhubungan dengan splay yang merupakan suatu sesar berpasangan. Kondisi tersebut mungkin menyebabkan pembukaan dari busur belakang seperti sebuah pull apart basin. Sejarah stratigrafi Halmahera merupakan hasil dari patahan dan pengangkatan sedimen-sedimen hasil fluktuasi genang laut. Sedimen-sedimen tersebut berpotensi sebagai batuan induk, reservoir, dan batuan penutup, yang penting dalam pembentukan dan penjebakan hidrokarbon.

Sedimentasi dan Stratigrafi

Stratigrafi Cekungan Kau Bay diendapkan diatas batuan dasar berumur Jurasik. Litologi batuan dasarnya terdiri dari ofiolit. Sedimentasi cekungan ini diawali dengan pengendapan secara tidak selaras batugamping Formasi Gau pada umur Kapur; batuannya terdiri atas endapan batupasir dan batugamping. Diatas batugamping Formasi Gau diendapkan breksi Formasi Dodogo berumur Paleosen.



Peta Geologi Pulau Halmahera
Pada umur Eosen Awal diatas Formasi Dodogo diendapkan Formasi Paniti. Formasi Paniti ini memiliki endapan berupa batupasir konglomeratan, batulanau, batulempung, batugamping, dan dijumpai pula endapan batubara. Diperkirakan formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal.
Pada umur Eosen Tengah di Cekungan Kau Bay diendapkan napal Formasi Onof. Kemudian pada Awal Miosen diendapkan secara tidak selaras Formasi Jawali dengan endapannya berupa konglomerat; konglomerat Formasi Jawali berasal dari daerah fluvial. Formasi Subaim diendapkan diatas Formasi Jawali pada umur Miosen Awal – Miosen Tengah. Formasi ini terdiri dari endapan batugamping masif dan perlapisan batugamping koral. Lingkungan paparan laut dangkal menjadi tempat pengendapan formasi ini.
Diatas Formasi Subaim diendapkan Formasi Soolat pada umur Pliosen. Formasi ini terdiri dari endapan batulempung gampingan dan perlapisan batugamping yang pada tempat-tempat tertentu dijumpai berlapis dengan batupasir dan konglomerat.


Stratigrafi Cekungan Kau bay

Batugamping Formasi Wasile diendapkan pada umur Pliosen. Formasi ini diendapkan selaras diatas Formasi Soolat, dengan batuannya berupa batupasir turbidit dan terdapat pula konglomerat yang menggambarkan bagian dari suatu prograding kipas bawah laut. Pada umur Pleistosen pada Cekungan Halmahera ini diendapkan batugamping terumbu, dan kemudian diendapkan endapan alluvial pada umur Holosen.
Sistem Petroleum
Dalam mempelajari suatu cekungan sangatlah penting untuk diketahui sistem petroleum dari cekungan tersebut. Terbentuknya hidrokarbon di suatu cekungan dikontrol oleh beberapa faktor, tergantung posisinya terhadap batas lempeng. Dengan menggunakan analog dari Cekungan Salawati berikut adalah sistem petroleum untuk Cekungan Kau Bay. 

Batuan Induk 
Batuan induk yang potensial di daerah Kepala Burung diharapkan terbentuk di cekungan Halmahera Selatan. Dua interval batuan induk yang menghasilkan minyak di daerah Kepala Burung Papua berupa serpih pada Formasi Ainim yang memiliki kecenderungan untuk menghasilkan gas dan sedikit minyak. Batuan berumur Jura Awal-Tengah dari Formasi Yefbie yang ekivalen dengan Formasi Kopai dari Kelompok Lower Kembelangan yang mengindikasikan kecenderungan yang lebih banyak menghasilkan minyak dibanding dengan batuan induk Permian; serpihnya memiliki TOC 6,2 % berasal dari material sapropel yang dapat menghasilkan minyak dan gas. Batuan induk Tersier yang ada pada cekungan-cekungan di daerah Kepala Burung melibatkan Grup Upper Kembelangan (Paleosen-Eosen) yang mengandung TOC sekitar 0.6-1.2% yang berasal dari material sapropel dan cenderung menghasilkan minyak. 

Reservoir
Endapan-endapan Formasi Pre-Oha (Paleogen), Formasi Superak (Miosen), Formasi Dufuk (Miosen Akhir), Formasi Subaim (Miosen), dan Formasi Wasille (Pliosen). Batuan reservoirnya terdiri dari batupasir dan konglomerat - batupasir alas serta batugamping.

 Batuan Penyekat
 Serpih yang berasal dari Formasi Soolat, Formasi  Dufuk, Formasi  Akelamo ; intraformasi. 

Jebakan Petroleum
Jebakan hidrokarbon di Cekungan Halmahera Selatan adalah jebakan stratigrafi, struktur dan kombinasi keduanya yang terbentuk pada fase syn-rift dan tereaktivasi pada fase tektonik collision




DAFTAR PUSTAKA

Darman, Herman dan Sidi, Hasan, F., 2000, An Outline of The Geology of Indonesia, Ikatan Ahli Geology Indonesia, Jakarta, hal 131-140.
Hall, Robert, 1999, History of Collision in the Halmahera Region, Indonesia,  Proceeding Indonesia Petroleum Association, 27th Annual Convention Proceedings.
Hamilton, W., 1979. Tectonics of the Indonesian Region: United States Geological Survey Professional Paper 1078.
Kartaadipura, Witoelar L., Ahmad, Zainal., dan Reymond, Andre., 1982, Deep-Sea Basin in Indonesia, Proceeding Indonesia Petroleum Association, 11th Annual Convention Proceedings, hal 53 – 81.
LEMIGAS, 2006, Kuantifikasi Sumberdaya Hidrokarbon, Volume II, Bab II Geologi Regional Indonesia Timur, LEMIGAS, Jakarta, hal 19-20.
Letouzey, Jean, Guignard, Jean, Clarens de Philippe, 1983, Structure of The North Banda-Molucca Area From Multichannel Seismic Reflection Data, Proceeding Indonesia Petroleum Association, 12th Annual Convention Proceedings, hal. 143 - 156.
PERTAMINA dan BEICIP FRANLAB, 1992, Global Geodynamics, Basin Classification and Exploration Play-types in Indonesia, Volume II, Halmahera Basin, PERTAMINA, Jakarta, hal 229 – 230.

Read More