Jumat, 18 Juli 2014

Tersesat ke Jalan yang Benar, Geologi

Tersesat ke Jalan yang Benar, Geologi

Tulisan Heru Hendarto , Alumni Teknik Geologi UGM
Geolog mendeskripsi batuan (sumber : freeimages.com)

Geologi? Binatang apa sih itu? Itulah pertanyaan yang banyak ditujukan ke saya dahulu saat nekat mengarsir kolom pilihan jurusan ini saat mengikuti UMPTN. Tak tanggung-tanggung bahkan ibu saya pun meragukan ‘keberadaan’ jurusan ini. “Lha, jurusan apa itu? Nanti kerjanya kayak apa?”, tanya beliau sambil mendelik. Namun maaf saja, tidak seperti sebagian mahasiswa lain yang terdampar di geologi karena blind date, saya sendiri merasa sudah cukup paham binatang apa itu geologi.  Jadi, tidak hanya ekstra telaten mempelajari susunan mata kuliah bermodalkan buku kurikulum kampus yang saya pinjam, saya pun sudah melakukan wawancara dengan beberapa senior yang kebetulan kuliah di geologi. Dengan modal reconnasissance awal itu, mata saya pun lebih terbuka tentang apa-apa yang dipelajari nantinya selama kuliah jika saya masuk ke jurusan itu. Tentu saja, saya juga sudah tahu bahwa hampir semua hitungan yang berat-berat dalam geologi di-convertdan disajikan dalam bentuk tabel dan chart. Jadi, kita tinggal mem-plot-kan saja titik perpotongan dari sumbu-sumbunya dan nilai itulah yang kita ambil. Seberapa akurat kah hasilnya itu? Yah, beda sepuluh-dua puluh persen dalam geologi adalah sah-sah saja, apalagi jika chartyang kita gunakan adalah hasil fotokopian textbookyang kesekian kali turunan sehingga skalanya pun sudah mulur-mulur tidak karuan. Idealnya sih, menurut textbook yang saya baca, seorang geologist adalah seorang yang awalnya juga ahli di bidang biologi, fisika, kimia dan matematika. Dan well, saya tidak ahli di bidang itu satupun kecuali agak sedikit nyangkut di biologi (itu pun banyakan hapalnya di pelajaran reproduksi he). Jadi sebenarnya motivasi saya masuk geologi cukup jelas : “Saya senang naik gunung dan saya tidak jago sama sekali dalam ilmu pasti namun sangat ingin sekali menyandang gelar Sarjana Teknik biar keren”.
Dapat ditebak dengan mudahnya tentu saja, dua semester pertama saya nilainya hancur berantakan. Penyebabnya adalah bertaburannya Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) yang wajib diambil seperti Fisika, Kalkulus dan Kimia. Belum puas menyiksa mahasiswa dengan mata kuliah kelas berat itu, muncul lagi mata kuliah hasil turunannya seperti Kimia Analis dan Kimia Fisika. Walhasil, para dosen mata kuliah itu pun menjadi musuh bebuyutan kami. Dan stereotypedosen-dosen dari MIPA pun tetap melekat erat di mereka, old-fashioned, kaku, dan tidak komunikatif. Bagaimana tidak namanya old-fashioned, dandanan mereka rata-rata adalah gaya pemuda tahun 70-an; celana cutbrai, kemeja ketat kancing atas dibuka dan tentu saja dengan kacamata setebal pantat botol bertengger di atas hidung. Rina, seorang teman SMA saya yang telah menamatkan kuliah D3-nya di jurusan Kimia Terapan salah satu PTN di Jakarta dan meneruskan ekstensi S1-nya di MIPA sini, nyeletuk : “Busyet dah mahasiswa-mahasiswi di sini, masak pergi kuliah pakai kemeja merah bawahannya celana coklat!”. Saya pun mencoba berkelit, menerangkan bahwa dari segi berpakaian memang kami masih jauh dari namanya modis, maklum ndeso, tapi inilah kampus yang terkenal dengan kesederhanaannya dan lebih mengutamakan otak daripada penampilan. Masih merasa dendam dengan statement teman saya itu, ‘tema perang’ yang sering kami angkat pun berselubung arogansi jurusan (walaupun intinya adalah dasar kaminya saja yang tidak sanggup menghadapi siksaan ganas dosen-dosen mata kuliah dasar itu). Arogansi jurusan ini kadang-kadang juga bisa membuat kami berubah jadi mahasiswa yang menyebalkan. “Mbak-mbak, ngapain sih kuliah 5 tahun cuma untuk belajar gigi saja, gak kelamaan tu Mbak? Kami saja 5 tahun kuliah sudah khatam belajar bumi dan alam semesta, sama isi-isinya lagi!”, demikian goda kami ke seorang mahasiswi Kedokteran Gigi yang kebetulan cukup manis parasnya.
Geologis di lapangan saat mengumpulkan data

Indeks Prestasi saya di semester I hanya mencapai 2,6 lebih sedikit, hanya masuk ke golongan PMDK (Perhimpunan Mahasiswa IP Dua Koma). Selain saya, ada juga beberapa teman bernasib malang yang dikutuk terjerumus masuk ke golongan Nasakom (nasib satu koma). Karena itu pulalah saya menargetkan bahwa paling tidak saya harus lulus nanti minimal mengantongi Indeks Prestasi Kumulatif 2,75. Membayangkan untuk dapat lulus dan termasuk dalam klan Primagama (Perhimpunan Mahasiswa IP Tiga Koma) bagi saya yang otak pas-pasan ini, rasanya hampir tidak mungkin. Dipastikan penyumbang terbesar jebloknya IP saya di tahun pertama itu adalah nilai-nilai MKDU yang bertaburan dengan nilai sadis C, D dan E. Bahkan pada mata kuliah Kimia Dasar I, yang wajib diambil pada semester pertama, saya sukses untuk tidak lulus dengan dianugerahi nilai E. Penasaran, kesempatan semester pendek tahun berikutnya saya mencoba mengambil ulang mata kuliah itu dan mendapat nilai yang lebih lumayan, D. Masih penasaran lagi (campur emosi), pada semester ganjil tahun ketiga saya kejar lagi Kimia Dasar I itu dan sukseslah dianugerahkan kembali dengan nilai E sebagai penilaian final. Akhirnya, pasrah dengan ketidakadilan yang saya rasakan, nilai D keparat itulah yang digunakan dan termaktub dalam Kartu Hasil Studi saya untuk selamanya.

Teman saya Yadi lebih parah lagi nasibnya, selama menjalani kuliah 5 tahun selama itu pula setiap tahunnya dia mengambil mata kuliah Kimia Fisika. Jadi, MKDU Kimia Fisika sudah berubah statusnya jadi mata kuliah wajib baginya. Sebenarnya, dosen mata kuliah susah ini cukup aneh juga orangnya. Jadi jika beliau memakai ikat pinggang, saking panjangnya ikat pinggang itu seolah-olah membelit tubuhnya sebanyak dua putaran. Ujung ikat pinggangnya berakhir di belakang kanan badan, bukan di samping kiri depan seperti kebanyakan orang-orang. “Mbok yo dipotong ikat pinggangnya, atau beli baru yang pas di badan gitu lho..”, begitu gumun salah seorang teman. Cerita ‘cinta segitiga’ antara Yadi, Kimia Fisika dan dosennya ini langsung merekah berbunga-bunga tepat pada semester pertama. Awalnya Yadi merasa tidak puas dengan nilai C yang diperoleh karena dia merasa bisa mengerjakan dengan baik soal ujiannya. Apalagi si Mulyono yang notabene nyontek plek kerjaannya Yadi, malahan dapat nilai B (saya sendiri untuk mata kuliah ini memperoleh nilai A-thanks god, satu-satunya nilai A dalam MKDU yang saya peroleh tapi saya sendiri tidak dong blas sama sekali akan materi kuliahnya). Penasaran, tiap tahun dia pun mengulang, dan tahun kedua malahan dia mendapat nilai lebih buruk, D. Tambah emosi, dia mengulang lagi di tahun ketiga dan memperoleh nilai yang tetap sama, D. Dia sudah merasa demikian kalapnya ketika mengulang lagi di tahun keempat dan tetap saja mendapat nilai D, hingga dia datangi dosen itu yang ternyata mengaku stress dengan anak geologi karena selalu minta nilai bagus tapi tidak pernah memperhatikan beliau saat kuliah. Sampai-sampai dengan penuh arogan beliau memberikan soal ujian yang dia bilang tidak akan bisa dijawab satu pun oleh anak geologi. Akhirnya dengan penuh dendam membara menyala-nyala di dada, Yadi pun mengulang untuk kali terakhir dan dengan suksesnya ditasbihkan untuk tidak lulus dengan nilai E..! Satu-satunya nilai E yang pernah dia dapat seumur-umur selama kuliah.
Berapa orang kah yang bernasib parah seperti kami itu? Banyak juga sih, namun tetap saja di antara kami muncul beberapa ‘pengkhianat’ yang melejit cemerlang dan lulus dengan nilai A. Ehm, sebenarnya bukan pengkhianat sih, memang mereka dasarnya pintar-pintar kok. Ada seorang teman saya dari Sumatera, sebut saja Satriyo, yang otaknya saking encernya suka menetes kemana-mana kalau dia berjalan. Segala jenis cacing integral yang membingungkan dan menjijikkan bisa dia uraikan dengan cepat dengan hasil yang mengagumkan.  Namun sayangnya, giliran dia menghadapi materi kuliah transportasi butir sedimen, membayangkan perubahan ukuran dan bentuk butir yang terjadi seiring jauhnya jarak transportasi saja sudah kebingungan. Satu logika yang bagi saya begitu gampangnya, berubah menjadi sesuatu yang kompleks bagi dia. Begitu pula sebaliknya yang berlaku, benar-benar dunia geologi yang membingungkan!

Kristal quartz salah satu pelajaran di geologi (sumber : freeimages.com)
Hiburan kami saat kuliah di semester awal adalah tentu saja mata kuliah-mata kuliah yang berhubungan dengan geologi itu sendiri, seperti Geologi Fisik dan Dinamik, Kristalografi dan Mineralogi serta Petrologi. Saya sendiri hampir selalu mendapat nilai baik untuk mata kuliah kegeologian, minimal B pasti sudah didapat di tangan. Walaupun sebenarnya saya merasa sama bodohnya saat menghadapi MKDU, namun tidak tahu kenapa nilainya selalu muncul lebih baik. Mungkin karena merasa lebih enjoy mengikuti perkuliahan, ah tapi entahlah. Bagaimana mungkin, kami yang bau kencur tidak tahu apa-apa ini sudah disodori oleh berbagai nama dan bentuk mineral serta puluhan jenis batuan yang harus dihapalkan. Mulai dari granit, granodiorit, riolit dari magma asam, hingga magma-magma lain serta berbagai batuan sedimen dan juga batuan metamorf yang merupakan turunan dari semua batuan sebelumnya. Targetnya sih, ini kata dosen mata kuliah Geodinamik, kami harus sudah fasih dengan tipe-tipe dan segala macam rupa batuan umum pada tahun pertama. Jadi misalnya kami sedang berjalan dan kaki tersandung batu, seorang mahasiswa geologi tahun pertama yang baik dan terlatih akan sudah sanggup untuk mengeluarkan makian : “Sompreet…!! Dasar ‘andesit’ sialan…!!”.

Kuliah Lapangan Mahasiswa Geologi (ilustrasi sumber : http://www.fitb.itb.ac.id/)
Bentuk dan warna bebatuan yang kami pelajari tersebut banyak yang serupa sehingga sangat-sangat membingungkan. Kejadian kocak yang saya ingat betul adalah saat dilakukannya tes praktikum Kristalografi dan Mineralogi, dimana kami harus mendeskripsi dan menentukan nama berbagai batuan dalam waktu kurang dari 2 menit. Bebatuan yang demikian banyak dan bermacam-macam jenis itu dijalankan dengan metode rolling ke teman di belakang. Jadi dalam waktu sekitar 1 jam, kami diserbu oleh berbagai bebatuan bermacam ukuran berwarna-warni dari berbagai jenis setiap 2 menitnya. Bunyi ‘tok!’, rasanya terdengar seperti gong kematian bagi kami karena bunyi mistar besi yang dihantamkan ke meja itu adalah penanda kami harus sudah selesai mendeskripsi batuan di tangan dan menyerahkannya ke meja belakang. Nah sialnya, seorang asisten dengan isengnya menyelipkan sepotong beton semen dan pecahan pantat botol di antara tumpukan bebatuan tersebut. Masih ingat persis dengan kejadian saat itu, “Hmm, batuan beku, abu-abu cerah, porfiroafanitik dengan fenokris kuarsa 2%, putih mengkilap, 1-2 mm, euhedral dengan masa dasar 98%, abu-abu cerah, skoriaan?”. “Kok cuma kuarsa ya yang kelihatan? Sedikit banget lagi!”, gumam saya agak kebingungan. “Ah sudahlah, pasti andesit ini!”, dan saya pun pede menuliskannya di lembar deskripsi. Dan tentu saja pecahan pantat botol tadi sukses saya deskripsikan sebagai batuan gelas vulkanik, coklat muda, glassy 100%, translucent. Seingat saya, tidak ada satupun teman yang berhasil mengenali itu sebagai beton dan beling! Sukseslah kami semua se-angkatan tertipu mentah-mentah dalam tes tersebut. Di akhir sesi sang ketua asisten berkata, “Tujuan saya menyelipkan beton dan belingitu bukan hendak menipu adik-adik lho ya. Kami hanya hendak menekankan bahwa deskripsi makroskopis tidak akan akurat tanpa memperhatikan singkapan batuan asalnya di lapangan”. Yeah, whatever the reason lah, yang jelas nilai kami juga tetap dikurangi gara-gara kehadiran dua barang terkutuk itu. Sejujurnya, saya sendiri pernah tertipu mentah-mentah saat mendeskripsi batuan, dan untungnya (sampai tulisan ini dibuat) tidak ada teman satu pun yang mengetahuinya. Saat sesi kuliah dan praktikum ruangan, kami diberi tahu bahwa materi erupsi gunung api yang terlempar ke udara dengan ukuran lanau dan lempung akan mengendap menjadi batuan tuff. Berwarna putih, ringan, mengandung banyak silika dan melampar mengisi cekungan. Salah satu cara empiris identifikasi paling cepat untuk tipe tuff adalah dengan menjilat bebatuan itu. Bila lidah terasa lengket tersedot menempel, berarti itu adalah positif tuff. Di sebuah kesempatan field trip, saya yang merasa menemukan batuan dengan lensa tuff di dalamnya mencoba menjilat kenampakan fragmen putih halus itu. Satu menit lamanya saya menjilat ‘tuff’ jejadian tersebut tanpa merasa lengket apa-apa, hanya untuk menyadari bahwa yang saya jilat itu adalah bercak besar dari kotoran burung yang sudah mengering !

Profil teman seangkatan saya sebenarnya cukup beragam, yang jelas saya ingat betul saat masuk ada sekitar 82 teman seangkatan dan 11 di antaranya berjenis kelamin cewek (satu orang cewek masih diragukan keaslian jenis kelaminnya karena sangat maskulin dan terbukti dalam beberapa kali tripke lapangan selalu ditegur dengan sapaan ‘mas’ oleh para penduduk). Dahulu memang geologi adalah jurusan yang paling minim cewek, sehingga muncul julukan ‘jurusan 1 banding 3’. Bukan berarti satu cewek berbanding tiga cowok ya, tapi satu cewek dibagi untuk tiga angkatan! Belakangan, tidak tahu kenapa, geologi menjadi jurusan yang mulai banyak digemari cewek sehingga rasio 1 cewek vs 3 cowok bukanlah hal yang aneh lagi. Saat ini, kutukan 1 banding 3 itu saya rasa hanya masih berlaku di jurusan Teknik Mesin yang dalam satu angkatannya bisa memperoleh 2 mahasiswi saja sudah sangat-sangat beruntung. Latar belakang jalur masuk mahasiswa geologi pun bermacam-macam. Jaman saya saat itu cuma ada tiga, jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN), Pemilihan Bibit Unggul Daerah (PBUD) dan Pemilihan Bibit Atlet Daerah (PBAD). Nah, teman-teman non-UMPTN ini lah yang paling kasihan. Bukan apa-apa, seringkali mereka terdampar ke geologi tapi tidak tahu seperti apa nanti kuliahnya. Maklumlah, saat kelas dua SMA, mereka hanya mendaftar memilih jurusan tertentu tanpa merasa mendapat informasi yang cukup seperti apa profil jurusan tersebut sesungguhnya. Contohnya ya teman saya si jago kalkulus Satriyo tadi, yang merasa kesulitan mengadaptasikan diri dengan fenomena geologi yang lebih condong ke sifat abstrak daripada eksak. Yang lebih parah lagi, teman-teman non-UMPTN ini juga sering diejek-ejek kapasitasnya sebagai mahasiswa. Mengapa? Yah, karena mereka dianggap tidak ikut merasakan beratnya siksaan UMPTN. Tidak ikut merasakan susahnya dan pusingnya persiapan bimbel, desak-desakan mengantri formulir, hingga bersaing ketat se-antero nusantara memperebutkan kursi yang cuma ‘se-iprit’ jumlahnya itu. Tekanan mental itu, walaupun hanya tersirat, ternyata cukup dahsyat juga efeknya bagi sebagian orang. Saat akhir tahun pertama, beberapa rekan ketahuan mencoba mengambil tes UMPTN. Beberapa yang lulus, dan yang memang dari awal berniat pindah ke jurusan yang lebih bergengsi seperti Teknik Kimia, Teknik Elektro dan Kedokteran Umum pun segera hijrah. Ada juga yang cukup sableng, tampak beberapa rekan hanya mondar-mandir di tangga kampus menenteng-nenteng selembar koran lokal yang memuat nama-nama peserta kelulusan UMPTN. Dengan bangganya mereka men-stabilonamanya di situ dan memamerkan kelulusannya ke teman-teman yang lain. Apakah mereka juga akan pindah jurusan? Oh tidak, mereka ikut tes UMPTN lagi tanpa ada niat sama sekali untuk pindah jurusan. Mereka hanya hanya mau show off ke rekan-rekan lain bahwa sebenarnya mereka yang dulu masuk dari jalur non-UMPTN, sanggup untuk lulus UMPTN dan berhak memosisikan dirinya setara dengan yang lain. Kehilangan beberapa teman di tahun kedua (kami menjadi ber-78), tidak menyurutkan semangat kami melanjutkan kuliah ke semester-semester atas. Tahun kedua itu pulalah arogansi UMPTN vs non-UMPTN mulai mencair dan hilang sepenuhnya ditempa oleh waktu dan beratnya beban materi kuliah geologi yang dengan kompak kami hadapi bersama-sama.

Apakah akhirnya semua dari kami lulus dengan gemilang dan happy ending? Tidak juga sebenarnya, beberapa teman memang ‘menghilang’ di tengah jalan. Ada yang menghilang karena masalah keluarga, ada yang karena kesulitan ekonomi, ada yang sudah memperoleh pekerjaan dan berbagai masalah klasik lain yang umum menimpa mahasiswa ndesoseperti kami. Namun satu yang masih membekas di ingatan kami, seorang teman yang baik hati bernama Irwan Pandu yang berasal dari pulau Obi-Maluku, yang menghilang tanpa kabar selama dua tahun lamanya. Dan sangat mengejutkan saat berita terakhir yang saya terima, dia sudah bergabung ke salah satu laskar keagamaan dan terjun ke salah satu medan konflik di Indonesia kala itu. Benar-benar unik dan lain dari yang lain!

Moral of The Story :


Hidup adalah pilihan, dan jika sudah membuat pilihan, jalanilah sepenuh hati dengan segala konsekuensinya walaupun pahit rasanya.
Read More