Rabu, 25 Desember 2013

Apa itu CBM (Coal Bed Methane) ?

CBM telah dikenal lama oleh para pekerja tambang batubara terutama pada penambangan bawah tanah (underground) sebagai gas tambang. Gas tambang ini sering kali mencelakai pekerja tambang. Gas tambang / CBM ini dianggap sebagai penyebab ledakan dan longsor di dalam tambang batubara.


Saat ini Gas tambang ini dapat dimanfaatkan dan diambil sebagai energi gas. Sehingga gas tambang ini tidak mencelakai para pekerja tambang. Selain itu gas tambang metana yang keluar merusak atmosfer dapat dicegah


CBM juga dikenal sebagai coal seam gas (CSG) atau coal seam natural gas (CSNG). Batubara memiliki lapisan-lapisan berisi gas alam dengan kandungan utamanya metana atau methane (CH4) yang disebut CBM. CBM (Coal Bed Methane) adalah gas metana yang dihasilkan selama proses pembatubaraan dan (tetap) terperangkap dalam batubara. Gas tersebut dapat terbentuk secara biogenik maupun thermogenik (dalam eksplorasi CBM yang dicari adalah thermogenik). Ciri fisiknya gas ini: tak berwarna, tidak berbau, tidak beracun, tapi ketika bercampur dengan udara bisa tiba-tiba meledak (mudah terbakar).


CBM terbentuk bersama air, nitrogen dan karbondioksida ketika material tumbuhan tertimbun dan berubah menjadi batubara karena panas dan proses kimia selama waktu geologi yang sering disebut dengan coalification.
  


Gambar 1. Proses Pembatubaraan



Produksi pada methane dari lapisan batubara dibagi menjadi 3 tipe proyek :


1.            Coal bed methane


2.            Coal mine methane


3.            Enhanced coal bed methane.

Setiap proyek memiliki kesempatan dan persoalan-persoalan yang berbeda




Gambar 2. Tipe Pengembangan CBM

Karakter dari batubara yang baik untuk produksi CBM :

  1. Kandungan gas tinggi :15m3-30m3 per ton
  2. Permeabilitas yang baik : 30mD-30mD.
  3. Dangkal : lapisan batubara < kedalaman 1000m. Tekanan pada kedalaman yang berlebih terkadang sangat tinggi dan telah mengalami penguapan. Hal ini disebabkan tekanan tinggi menyebabkan adanya struktur cleat yang menyebabkan penurunan permeabilitas. 
  4. Ranking batubara : kebanyakan proyek  CBM memproduksi gas dari batubara bituminus, tetapi hal ini dapat mungkin terjadi di Antrasit. Semakin bertambah kuantitasnya dari gambut hingga medium volatile bituminous rank, lalu berkurang hingga antrasit. Jadi, dari low rank coal pun sudah punya CBM (umumnya kualitas batubara di Indonesia kita adalah low rank). Tentu saja kuantitas gas akan semakin banyak jika lapisan batubaranya semakin tebal.

     Pada prinsipnya, sejumlah banyak cbm tersimpan dalam coal matrix secara adsorption, yang arti mudahnya adalah 'gas menempel di dalam pori-pori coal matrix' (ada juga sih cbm sebagai free gas atau gas yang tidak menempel pada coal matrix). Cara terkandungnya cbm ini berbeda dengan cara tersimpannya conventional gas. conventional gas tersimpan secara compressed (sebenarnya sama saja dengan free gas). Jadi, lapisan batubara pada target eksplorasi cbm selain berperan sebagai reservoir, juga berperan sebagai source rock (tidak ada migrasi seperti pada conventional gas). 

     CBM dapat keluar (desorption) dari coal matrix melalui cleat (bidang rekahan dengan merendahkan pressure (air) pada target lapisan. Hubungan antara kuantitas cbm yang tersimpan dalam coal matrix terhadap pressure dinamakan Kurva Langmuir Isotherm (proses tersebut berada pada suhu yang konstan terhadap perubahan pressure). Tekanan tersebut direndahkan dengan cara memompa air (dewatering). Jadi, sejumlah banyak air juga akan diproduksikan dan ini menyebabkan kalau mengeksploitasi CBM akan berhadapan dengan environmental challenge, karena banyaknya air yang diproduksi.

    Gamabr 3. Bidang Rekahan di Bidang Batubara


EmoticonEmoticon